BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari angka – angka pendapatan nasiolal Indonesia dapat di lihat dengan jelas bahwa sejak tahun 1968 perekonomian kita mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Tapi dari angka – angka yang ada, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, menjadi nyata pula bahwa perkembangan tersebut tidak selalu kontinu atau stabil. Sering kali dunia ekonomi “mau lari terlalu cepat”, sehingga harga – harga naik dan terjadi inflasi. Tetapi sering juga kegiatan ekonomi justru kurang sejalan dengan kebutuhan atau mengalami kemunduran, bahkan kemacetan, dan orang bicara tentang stagnasi atau resesi.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat, tetapi sekaligus menjaga kestabilan ekonomi, pemerinyah yang bertugas mengendalikan serta mengarahkan kegiatan ekonomi nasional menuju cita – cita bangsa kita: pertumbuhan – pertumbuhan, kestabilan, dan pemerataan. Untuk itu senjata di tangan pemerintah adalah economic policy, yaitu kebijakan pemerintah, baik melalui pengaturan keuangan Negara.
Bila kita mempelajari sejarah perkembangan ekonomi di berbagai Negara, segera akan kelihatan bahwa kegiatan ekonomi modern jarang dalam keadaan stabil untuk jangka waktu yang agak lama. Ada masa – masa di mana kegiatan ekonomi berkembang dengan cepatnya, di mana produksi bertambah, pendapatan masyarakat naik dan mencari pekerjaan mudah. Tetapi masa – masa di mana semuanya terasa macet; produksi merosot, pendapatan masyarakat berkurang dan pengangguran bertambah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Inflasi dan Resesi
2. Apa itu Konjungtur
3. Akibat Resesi di Indonesia
4. Jenis – jenis Inflasi
5. Penyebab terjadinya Inflasi
6. Masalah Inflasi yang ditinjau dari segi Permintaan
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan pengertian Inflasi dan Resesi
2. Menjelaskan Konjungtur
3. Menjelaskan akibat – akibat resesi di Indonesia
4. Mengetahui jenis – jenis Inflasi
5. Mengetahui penyebab terjadinya Inflasi
6. Menjelaskan masalah – masalah Inflasi dari segi Permintaan
BAB II
ISI
1. Resesi dan Inflasi
Apasih Resesi dan Inflasi itu?
Dikatakan Resesi (kelesuan) apabila; kegiatan ekonomi itu seret, produksi merosot dan banyak pengangguran, perekonomian yang lesu, dan hasil produksi kurang dari yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang ada. Dan, kalau kemerosotan itu sudah cukup parah, disebut depresi. Sedangkan Inflasi, yaitu kalau perekonomian nasional “mau lari terlalu cepat” sehingga kapasitas produksi tidak dapat melayani permintaan masyarakat dan harga – harga naik; ibaratnya seperi penderita tekanan darah.
Kedua masalah itu dapat ditangani dengan kebijakan ekonoi yang tepat. Tetapi, dewasa ini kedua masalah itu suka muncul bersamaan, sehingga orang bicara tentang stagflasi (stagnasi + inflasi). Dalam hal ini menjadi lebih sulit untuk mengatasinya, karena usaha menangani masalah yang satu, justru memunculkan masalah yang lain. Maka diperlukan kebijakan ekonomi yang dapat mengatasi resesi tanpa menimbulkan inflasi, dan sekaligus menjaga jangan sampai usaha mengendalikan inflasi mematikan laju pertumbuhan ekonomi yang sehat dan seimbang.
2. Konjungtor
Dalam pertumbuhan perekonomian suatu bangsa maupun perekonomian dunia masa – masa kemajuan / pertumbuhan silih berganti dengan masa – masa kemunduran / kemerosotan. Dalam ekonomi, pasang surutnya kegiatan ekonomi ini disebut gelombang konjungtor (business fluctuations atau business cycles). Pada tahun 1930-an, para ahli ekonomi mulai mempelajari gejala naik turunnya kegiatan ekonomi tersebut, dan mencari jalan bagaimana dapat diatasi atau tidak diredakan.
· GELOMBANG KONJUNGTOR
Kegiatan ekonomi tidak stabil atau kontinu melainkan bergelombang (lihat Gambar 1). Pasang – surutnya kegiatan ekonomi nasional secara keseluruhan ini disebut gelombang konjuntor. Istilah gelombang menunjukkan gejala naik – turunnya kegiatan ekonomi (produksi, perdagangan, investasi, konsumsi, jumlah uang/kredit, tingkat harga, kesempatan kerja, volume ekspor – impor, dsb) secara berulang – ulang dengan suatu urutan atau pola tertentu.
Menurut hasil penelitian para ahli statistik ekonomi, kebanyakan gelombang konjungtur berlangsung sekitar 3 – 4 tahun. Tetapi para ahli menunjukan pula bahwa ada gelombang yang berlangsung lama: sampai sekitar 8 – 10 tahun, bahkan ada yang 15 – 15 tahun. Setiap gelombang mempunyai ciri – cirinya sendiri: tak ada dua gelombang konjungtur yang tepat sama. Namun semua gelombang menunjukkan suatu pola dasar yang sama. Satu gelombang (satu cycle) biasanya dibagi dalam empat tahap:
1) Tahap ekspansi (prosperity), yaitu tahap kegiatan ekonomi dalam perkembangan / pertumbuhan yang cepat sampai tercapai puncak kegiatan (sering juga disebut masa “boom” atau “hausse”). Tetapi setelah beberapa waktu mulai timbul kemacetan – kemacetan dan hambatan – hambatan, yang akhirnya menyebabkan situasi berubah / berbalik menjadi kemunduran. Titik balik (atas) disebut krisis.
2) Resesi atau kelesuan. Semula kemacetan – kemacetan yang timbul menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi terhenti (stagnasi) dan /atau mundur sedikit. Kalau kelesuan itu berlangsung lama dan hebat, di mana semua sektpr ekonomi ikut ketularan, kelesuan menjadi kemerosotan.
3) Depresi atau kemerosotan, di mana produksi berkurang, banyak pabrik ditutup dan banyak terjadi pengangguran. Keadaan ini juga disebut baisse atau “konjungtur rendah”. Tetapi akhirnya keadaan berubah lagi (titik balik bawah), dan mulailah tahap berikut:
4) Pemilihan (revival atau recovery), kalau kegiatan ekonomi nasional mulai normal kembali
a. Ekspansi = Kegiatan Ekonomi Cepat
Karena dorongan dari salah satu “strater”, kegiatan ekonomi meningkat.para produsen bekerja dengan kapasitas penuh dan usahanya. Tingkat investasi tinggi dan banyak pengusaha yang minat kredit bank. Jumlah uang dan kredit bertambah, dan kurs saham di bursa mulai naik. Pandangan dunia bisnis menjadi optimis sekali. Tingkat upah/gaji mulai ikut naik tetapi tidak secepat kenaikkan laba. Ini yang disebut konjungtor tinggi (hausse).
Tetapi lama – kelamaan mulai timbul ketegangan – ketegangan. Kredit bank pada suatu saat harus dilunasi; tingkat harga mulai naik dan harga dasar naik (berarti biaya produksi naik pula). Tingkat harga yang tinggi menyebabkan upah – gaji harus dinaikkan pula. Ekspansi terhenti supply menyebabkan harga cenderung turun sedsngkan biaya produksi meningkat.
b. Resesi = Kelesuan
Kegiatan ekonomi mulai mundur, setidak – tidaknya sudah tidak mundur. Ada perusahaan yang macet/rugi, terutama di sektor industri dasar. Penjualan tidak bertambah lagi atau bahkan berkurang. Kurs saham di bursa mulai turun. Harga beberapa jenis barang mulai merosot. Kenaikkan biaya produksi sudah tidak diimbangi oleh kenaikkan jumlah penjualan. Kredit – kredit bank harus dilunasi dan pinjaman baru tidak dilayani. Kegiatan ekonomi mulai mundur, dan pandangan para pengusaha mulai “suram” (pesimis) terutama harapan untuk mendapatkan laba. Pendapatan nasional tidak bertambah lagi, bahkan merosot beberapa persen.
c. Depresi = Kemerosotan
Kegiatan ekonomi semakin merosot (lebih daripada beberapa persen saja). Banyak perusahaan tutup karena rugi, dan pengangguran bertambah. Karena pendapatan masyarakat berkurang, permintaan masyarakat sedikit, sehingga penjualan hanya sedikit. Harga barang merosot, dan pandangan para pengusaha menjadi pesimis sekali. Ini yang disebut konjungtur rendah atau baisse.
d. Recovery atau Pemulihan
Lama – kelamaan persediaan barang mulai menipis, sehingga ada dorongan untuk menghidupkan kembali kegiatan produksi. Dengan demikian pengangguran berkurang. Juga mulai ada investasi lagi untuk menggantikan alat – alat produksi yang usut/aus. Penjualan mulai bertambah lagi, dan harga – harga naik sedikit. Pandangan dunia bisnis menjadi lebih optimis lagi, dan ada lagi pengusaha yang mulai dengan usaha – usaha baru. Kehidupan ekonomi mulai normal kembali.
3. Akibat Resesi
Gejala kongjuntur terutama dirasakan di negara – negara industri yang menganut sistem ekonoi bebas atau mixed. Ini disebabkan karena reaksi dunia bisnis lebih cepat dan sensitif, sedangkan permintaan masyarakatlebih elastis. Tetapi, Indonesia juga merasakan akibat – akibatnya, apabila di luar negeri terjadi resesi. Misalnya, pada tahun 1979-1980 perekonomian dunia mengalami resesi yang melalui impor – ekspor, jelas ini mempengaruhi situasi ekonomi dalam negeri.
Akibat resesi Internasional pada Perekonomian Indonesia hádala:
· Harga minyak bumi tidak apat naik lagi, melainkan cenderung turun
· Banyak komiditi ekspor mulai terpukul dalam arti harga turun dan volume ekspor terkena. Dan juga, komiditi lainnya seperti lada, kopi, tapioka, rotan, bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam harganya. Nilai hasil ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan menurun sedikit. Dan encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor barang industri seperti tekstil juga mengalami hambatan oleh karena proteksionisme di luar negeri.
( keadaan kronologi sejak 1983 )
Resesi duia masih berkelanjutan, baik di Amerika maupun Eropa dan Jepang. Akibat permintaan akan barang – barang ekspor Indonesia tidak meningkat, bahkan merosot.
· Tingkat bunga di Amerika tinggi. Akibatnya dolar lari ke Amerika; kedudukan $ meningkat dibandingkan dengan rupiah (Rp). Disamping menimbulkan spekulasi terhadap kemungkinan devaluasi rupiah, ekspor Indonesia menjadi lebih berat bersaing di pasar luar negeri.
· Merosotnya harga minyak merupakan pukulan berat bagi perekonomian Indonesia – dana untuk pembangunan, yang dulu diabil dari penerimaan migas, sangat merosot.
· Ekspor nonmigas juga terpukul, tidak meningkat seperti di harapkan – belum bisa untuk mengimbangi kerugian dari kemerosotan harga minyak.
· Cabang – cabang industri dalam negeri yang terpukul antara lain tekstil, otomotif, elektronika, bangunan/konstruksi.
4. Inflasi
Inflasi dalam arti “kenaikan harga umum” rupa – rupanya sudah menjadi gejala yang biasa dalam masyarakat modern. Sejak dulu gejala inflasi dihubungkan dengan jumlah uang yang beredar.
Sejak dulu gejala inflasi dihubungkan dengan jumlah uang yang beredar. Kalau jumlah uang (M) bertambah (cateris paribus) jadi V konstan dan T juga konstan, maka harga – harga (P) akan naik. Tetapi mengapa M akan naik? Lagi pula masih ada pertanyaan, apakah sudah pasti harga – harga naik sebagai akibat adanya pertambahan M. Atau mungkin sebaliknya: oleh karena itu, harga – harga sudah naik (karena sebab lain), maka jumlah uang atau M harus disesuaikan. Jadi, bukan kenaikan M yang menyebabkan kenaikan P, tetapi sebaliknya kenaikan P menyebabkan kenaikan M.
· Terganggunya Keseimbangan Arus Uang dan Arus Barang
Kalau semuanya itu berjalan dengan lancar dan ada kecocokan maka keadaan ekonomi nasional di katakan dalam keadaan seimbang:
Ø Produksi berjalan lancar dan melayani kebutuhan/permintaan masyarakat, sambil memberikan kesempatan kerja
Ø Hasil produksi terjual sama dengan apa yang di beli oleh masyarakat (tak terlalu banyak dan tak terlalu sedikit ) dengan harga yang tidak terlalu mahal/murah
Ø Jumlah uang beredar tepat cukup untuk melayani kebutuhan ekonomi
Ø Tanda kecocokan yang jelas: harga – harga stabil
Kenyataan harga – harga tidak selalu stabil: mungkin terjadi inflasi, mungkin juga resesi, bahkan bisa jadi stagnasi. Ketidakstabilan harga – harga ini merupakan suatu tanda bahwa tidak ada kecocokan antara arus barang dan arus uang, antara produksi dan pembelanjaan masyarakat, antara supply dan demand.
Tergantungnya keseimbangan antara arus uang dan arus barang ini dapat berasal dari tiga segi:
Ø Segi produksi atau arus barang (segi suply). Misalnya: karena panen gagal, ada ham/banjir/bencana alam, kemacetan transportasi, perubahan teknik produksi dsb. Segi permintaan (demand): kelebihan (atau kekurangan) permintaan masyarakat, misalnya karena adanya perubahan selera konsumen atau mode (C), perubahan tingkat investasi akibat perkembangan teknologi (I), defisit APBN (G), ekspor lebih besar (atau lebih kecil) dari impor (Xn), atau pandangan para pengusaha yang optimis (atau pesimis). Ini semua mempengaruhi permintaan dan pembelanjaan masyarakat (terutama tingkat I dan G).
Ø Segi harga. Misalnya, karena kenaikkan PGPS yang disusul oleh kenaikan harga dan upah. Mungkin juga karena kenaikan harga bahan, misalnya karena OPEC menaikkan harga minyak tanah atau karena kenaikan/penurunan harga barang impor. Bisa juga karena perubahan kurs valuta asing (seperti perubahan kurs dolar), yang ikut mempengaruhi harga semua barang impor.
DAFTAR PUSTAKA
BAB III
KESIMPULAN
Dalam makalah ini, yang berjudul “Dampak Inflasi dan Resesi pada Perekonomian Indonesia ” kita dapat membedakan pengertian dari Resesi dan Inflasi. Resesi adalah kegiatan ekonomi itu seret, produksi merosot dan banyak pengangguran, perekonomian yang lesu, dan hasil produksi kurang dari yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang ada. Dan, kalau kemerosotan itu sudah cukup parah, disebut depresi. Sedangkan Inflasi, yaitu kalau perekonomian nasional “mau lari terlalu cepat” sehingga kapasitas produksi tidak dapat melayani permintaan masyarakat dan harga – harga naik; ibaratnya seperi penderita tekanan darah.
Akibat resesi Internasional pada Perekonomian Indonesia ádalah:
· Harga minyak bumi tidak apat naik lagi, melainkan cenderung turun
· Banyak komiditi ekspor mulai terpukul dalam arti harga turun dan volume ekspor terkena. Dan juga, komiditi lainnya seperti lada, kopi, tapioka, rotan, bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam harganya. Nilai hasil ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan menurun sedikit. Dan encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor barang industri seperti tekstil juga mengalami hambatan oleh karena proteksionisme di luar negeri.
Jenis – jenis Inflasi :
· Inflasi yang disebabkan karena kelebihan permintaan efektif
· Inflasi yang disebabkan karena kenaikan biaya produksi
· Inflasi karena ketularan dari luar negeri
Sukirno, Sadono. “Masalah – masalah Pokok Makroekonomi: Pengangguran, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi” dalam Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Bima Grafika, 1981, hlm. 165-178.
Winardi. “Masalah Inflasi” dalam Pengantar Ilmu Ekonomi Teoretika Modern, jilid 1. Bandung: Trasito, 1985, hlm. 208-460.
Poli, Carla, Dra. “Inflasi dan Resesi” dalam Pengantar Ilmu Ekonomi I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1992, hlm. 267
Tidak ada komentar:
Posting Komentar