BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian utama, yaitu, Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat.
Sistem sentralisasi yang pernah di terapkan, di mana semua urusan negara menjadi urusan pusat, pusat dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada pemerintah pusat, pusat memegang semua kendali atas semua wilayah atau daerah di Indonesia, dan daerah harus melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.
Dalam penjelasan tersebut, daerah dapat diartikan bahwa daerah Indonesia dibagi dalam daerah provinsi, daerah provinsi dibagi dengan daerah yang lebih kecil. Dengan penerapan sistem terpusat di segala bidang kehidupan ternyata tidak dapat menciptakan kemakmuran rakyat yang merata di seluruh daerah, karena jauhnya jangkauan dari pusat, sehingga kebanyakan daerah yang jauh dari pemerintah pusat kurang mendapatkan perhatian, dan tujuan membangun Good Governence belum dapat terwujud. Berakhirnya rezim orde baru, berganti dengan era reformasi, mengubah cara pandang untk mewujudkan Good Governence, salah satunya dengan adanya otonomi daerah, karena Otonomi Daerah dapat mengembangkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
Pembangunan ekonomi saat ini di negara kita (indonesia) selama masa pemerintahan orde baru lebih mementingkan atau memusatkanpada pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak membuat wilayah daerahtanah air dapat berkembang dengan baik. Sebagai hasil pembangunan selama ini lebih dikonsentrasikan di Pusat Jawa atau di Ibukota, hal ini merupakan sebagai proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran. Pada tingkat nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun cukup tinggi dan tingkat pendapatan perkapita naik terus setiap tahun hingga krisis terjadi. Namun dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar propinsi makin membesar.
1. Apakah pengertian otonomi daerah?
2. Apa peranan otonomi daerah terhadap peluang?
3. Bagaimana tantangan bisnis di Indonesia?
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan pengertian dari otonomi daerah.
2. Peranan otonomi daerah terhadap peluang di Indonesia.
3. Mengetahui tantangan bisnis yang terjadi di Indonesia karena otonomi daerah.
ISI
Sebelum membahas mengenai peranan otonomidaerah terhadap peluang dan tantangan bisnis di indonesia, maka terlebih dahulu kita memahami dang mengerti apa itu yang di maksud dengan Otonomi daerah?
PENGERTIAN OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang di maksud Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Sedangkan yang di maksud Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti :
1. Hubungan luar negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan keuangan
4. Pertahanan dan keamanan
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Dampak Positif Otonomi Daerah
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggidari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah juga akan lebih tepat sasaran dan tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga akan lebih efisien.
Dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembang
Masalah Otonomi Daerah
Permasalahan Pokok dari Otonomi Daerah:
1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap.
2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22/ 1999 masih sangat terbatas.
3. Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan meluas
4. Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemahPengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah dikelola
5. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
6. Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsepotonomi yang proporsional kedalam pengaturan konsepotonomi yang proporsional ke dalampengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka NKRI
Permasalahan pokok tersebut terefleksi dalam 7 elemen pokok yang membentuk pemerintah daerah yaitu;
1. kewenangan,
2. kelembagaan,
3. kepegawaian,
4. keuangan,
5. perwakilan,
6. manajemen pelayanan publik,
7. pengawasan.
1. kewenangan,
2. kelembagaan,
3. kepegawaian,
4. keuangan,
5. perwakilan,
6. manajemen pelayanan publik,
7. pengawasan.
Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi:
a) PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
• Hasil pajak daerah
• Hasil restribusi daerah
• Hasil perusahan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
• Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan asset
daerah dan jasa giro
b) DANA PERIMBANGAN
• Dana Bagi Hasil
• Dana Alokasi Umum (DAU)
• Dana Alokasi Khusus
c) PINJAMAN DAERAH
meliputi pinjaman dalam negri dan pijaman luar negri:
• Pinjaman Dalam Negeri
• Pinjaman Dalam Negeri
1. Pemerintah pusat
2. Lembaga keuangan bank
3. Lembaga keuangan bukan bank
4. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)
• Pinjaman Luar Negeri
1. Pinjaman bilateral
2. Pinjaman multilateral
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah;
4. hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota
lainnya,
5. penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
PELUANG BISNIS EKONOMI SERTA TANTANGAN BISNIS DI DAERAH
Pembangunan ekonomi saat ini di negara kita (indonesia) selama masa pemerintahan orde baru lebih mementingkan atau memusatkanpada pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak membuat wilayah daerahtanah air dapat berkembang dengan baik. Sebagai hasil pembangunan selama ini lebih dikonsentrasikan di Pusat Jawa atau di Ibukota, hal ini merupakan sebagai proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran. Pada tingkat nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun cukup tinggi dan tingkat pendapatan perkapita naik terus setiap tahun hingga krisis terjadi. Namun dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar propinsi makin membesar.
Sekarang ini di era otonomi daerah dan desentralisasi, sebagian besar kewenangan pemerintahan dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar ini disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Dalam penjelasan UU No.22/1999 ini dinyatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud adalah berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Dari pemahaman tersebut, maka untuk menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan, pemerintah daerah tidak bisa lagi menggantungkan penanggulangannya kepada pemerintah pusat sebagaimana yang selama ini berlangsung. Di dalam kewenangan otonomi yang dimiliki daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung berusaha pengentasan kemiskinan di daerah bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin.
Sekarang ini di era otonomi daerah dan desentralisasi, sebagian besar kewenangan pemerintahan dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar ini disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Dalam penjelasan UU No.22/1999 ini dinyatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud adalah berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Dari pemahaman tersebut, maka untuk menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan, pemerintah daerah tidak bisa lagi menggantungkan penanggulangannya kepada pemerintah pusat sebagaimana yang selama ini berlangsung. Di dalam kewenangan otonomi yang dimiliki daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung berusaha pengentasan kemiskinan di daerah bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin.
Hubungan antara otonomi daerah dengan desentralisasi, demokrasi dan tata pemerintahan yang baik memang masih merupakan diskursus. Banyak pengamat mendukung bahwa dengan dilaksanakannya otonomi daerah maka akan mampu menciptakan demokrasi atau pun tata pemerintahan yang baik di daerah
Pelibatan masyarakat akan mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan, yaitu:
1. Pelibatan masyarakat akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif.
2. Pelibatan masyarakat akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban kepada publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.
3. Pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang baik.
Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah ini sangat boleh jadi menimbulkan “cultural shock”, dan belum menemukan bentuk /format pelaksanaan otonomi seperti yang diharapkan. Hal ini berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kewajiban daerah yang dinyatakan dalam penjelasan UU No.22/1999, yaitu untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan.
Berkaitan dengan kewenangan dan tanggung dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah daerah berupaya dengan membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan dan regulasi yang berkenaan dengan hal tersebut. Namun dengan belum adanya bentuk yang jelas dalam operasionalisasi otonomi tersebut, maka sering terdapat bias dalam hasil yang di dapat. Pelimpahan kewenangan dalam otonomi cenderung dianggap sebagai pelimpahan kedaulatan. Pada kondisi ini, otonomi lebih dipahami sebagai bentuk redistribusi sumber ekonomi/keuangan dari pusat ke daerah. Hal ini terutama bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber ekonomi. Dengan begitu, konsep otonomi yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik yang lebih baik, justru menjadi tidak atau belum terpikirkan.
Kemandirian daerah sering diukur dari kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD juga menjadi cerminan keikutsertaan daerah dalam membina penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di daerah. Keleluasaan memunculkan inisiatif dan kreativitas pemerintah daerah dalam mencari dan mengoptimalkan sumber penerimaan dari PAD sekarang ini cenderung dilihat sebagai sumber prestasi bagi pemerintah daerah bersangkutan dalam pelaksanaan otonomi. Disamping itu, hal ini dapat menimbulkan pula ego kedaerahan yang hanya berjuang demi peningkatan PAD sehingga melupakan kepentingan lain yang lebih penting yaitu pembangunan daerah yang membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Euphoria reformasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah seperti ini cenderung mengabaikan tujuan otonomi yang sebenarnya.
Otonomi menjadi keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah antar daerah.
Disamping peluang-peluang yang muncul dari pelaksanaan otonomi daerah, terdapat sejumlah tuntutan dan tantangan yang harus diantisipasi agar tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai dengan baik. Diantara tantangan yang dihadapi oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau seluruh kelompok masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri.
Dalam implementasinya, penetapan dan pelaksanaan peraturan dan instrumen baru yang dibuat oleh pemerintah daerah dapat menimbulkan dampak, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung, pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap adanya perubahan kebijakan, yaitu masyarakat miskin dan kelompok usaha kecil. Kemungkinan munculnya dampak negatif perlu mendapat perhatian lebih besar, karena hal tersebut dapat menghambat tercapainya tujuan penerapan otonomi daerah itu sendiri.
1. Pelibatan masyarakat akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif.
2. Pelibatan masyarakat akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban kepada publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.
3. Pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang baik.
Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah ini sangat boleh jadi menimbulkan “cultural shock”, dan belum menemukan bentuk /format pelaksanaan otonomi seperti yang diharapkan. Hal ini berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kewajiban daerah yang dinyatakan dalam penjelasan UU No.22/1999, yaitu untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan.
Berkaitan dengan kewenangan dan tanggung dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah daerah berupaya dengan membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan dan regulasi yang berkenaan dengan hal tersebut. Namun dengan belum adanya bentuk yang jelas dalam operasionalisasi otonomi tersebut, maka sering terdapat bias dalam hasil yang di dapat. Pelimpahan kewenangan dalam otonomi cenderung dianggap sebagai pelimpahan kedaulatan. Pada kondisi ini, otonomi lebih dipahami sebagai bentuk redistribusi sumber ekonomi/keuangan dari pusat ke daerah. Hal ini terutama bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber ekonomi. Dengan begitu, konsep otonomi yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik yang lebih baik, justru menjadi tidak atau belum terpikirkan.
Kemandirian daerah sering diukur dari kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD juga menjadi cerminan keikutsertaan daerah dalam membina penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di daerah. Keleluasaan memunculkan inisiatif dan kreativitas pemerintah daerah dalam mencari dan mengoptimalkan sumber penerimaan dari PAD sekarang ini cenderung dilihat sebagai sumber prestasi bagi pemerintah daerah bersangkutan dalam pelaksanaan otonomi. Disamping itu, hal ini dapat menimbulkan pula ego kedaerahan yang hanya berjuang demi peningkatan PAD sehingga melupakan kepentingan lain yang lebih penting yaitu pembangunan daerah yang membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Euphoria reformasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah seperti ini cenderung mengabaikan tujuan otonomi yang sebenarnya.
Otonomi menjadi keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah antar daerah.
Disamping peluang-peluang yang muncul dari pelaksanaan otonomi daerah, terdapat sejumlah tuntutan dan tantangan yang harus diantisipasi agar tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai dengan baik. Diantara tantangan yang dihadapi oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau seluruh kelompok masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri.
Dalam implementasinya, penetapan dan pelaksanaan peraturan dan instrumen baru yang dibuat oleh pemerintah daerah dapat menimbulkan dampak, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung, pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap adanya perubahan kebijakan, yaitu masyarakat miskin dan kelompok usaha kecil. Kemungkinan munculnya dampak negatif perlu mendapat perhatian lebih besar, karena hal tersebut dapat menghambat tercapainya tujuan penerapan otonomi daerah itu sendiri.
TINJAUAN SEKILAS MENGENAI EKONOMI POLITIK HUBUNGAN PUSAT DAERAH DI INDONESIA
Antara Pertinjauan dan Otonomi
Salah satu ciri utama dari Negara kesatuan ialah kekuasaan (power) yang sangat besar atau dominant pada pemerintah pusat. System dan mekanisme perencanaannya pun cenderung sangat sentralisis serta ditandai oleh berbagai pengaturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pusat pula. Pemerintahan di tingkat daerah praktis sekedar merupakan perpanjangan tangan dari pusat.
Namun, intensitas dominasi pusat dari satu ke lain negara kesatuan tentu saja berbeda beda. Perbedaan insensitas ini ternyata tidak berkolerasi sangat kuat dengan ideologi yang dianut, melainkan, agak nya, lebih banyak dipengaruhi oleh sejarah, budaya politik, serta lingkungan internal dan eksternal yang di hadapi suatu negara. Jadi, yang terpenting disini bukanlah soal sistem negara kesatuan atau sistem – sistem yang lainnya di luar negara kesatuan, melainkan adalah bagaimana penyelenggaraan pemerintahan bisa berlangsung secara efisien dan efektif, untuk mencapai peningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan lebih merata.
I. Lembaga Keuangan Mikro dan Program Pengentasan Kemiskinan
Lembaga Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan Formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.
Di BRI sendiri, micro finance didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Terdapat masih banyak lagi definisi micro finance atau keuangan mikro tergantung dari sudut pembicaraan.
Bagaimanapun, target atau segmen micro finance senantiasa bersentuhan dengan masyarakat yang relatif miskin atau berpenghasilan rendah Program P4K yang ditangani di BRI mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka petani nelayan kecil (PNK) dan penduduk pedesaan lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan kriteria pendapatannya maksimum setara dengan 320 kg beras per kapita per tahun.
Menurut Marguiret Robinson (2000), pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk didalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu yang Ampuh dalam menangani kemiskinan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, ketika pinjaman diberikan kepada mereka yang sangat miskin, kemungkinan besar pinjaman tersebut tidak akan pernah kembali. Hal ini wajar saja, mengingat mereka (the extreme poor) tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Program pangan dan penciptaan lapangan kerja lebih cocok untuk masyarakat sangat miskin tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) atau masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income), mereka memiliki penghasilan, meskipun tidak banyak. Untuk itu diperlukan pendekatan, program subsidi atau jenis pinjaman mikro yang tepat untuk masing-masing kelompok masyarakat miskin tersebut.
Marguiret Robinson (2000) mengklasifikasikan pelayanan micro finance terhadap masyarakat miskin ke dalam tiga kategori.
Disamping BRI Unit, BRI juga bekerjasama dengan Pemerintah atau Instansi lain mengelola P4K dan BKD, tentu saja terdapat Lembaga Keuangan lain seperti BPR dan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang ikut terlibat dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan khususnya bank umum.
Pada lembaga keuangan mikro ini dapat menumbuhkan minat masyarakat di pedesaan untuk berusaha atau menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil di pedesaan, yang pada akhirnya dapat membantu program pemerintah untuk :
1.Meningkatkan Produktivitas usaha masyarakat kecil di pedesaan.
2. Meningkatkan pendapatan penduduk desa.
3. Menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan, sehingga dapat memperkecil keinginan masyarakat pedesaan melakukan urbanisasi.
4. Menunjang program pemerintah dalam mengupayakan pemerataan pendapatan penduduk desa dan upaya pengentasan kemiskinan.
II. Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah (OTODA)
Kebijakan Pemerintah Indonesia dibidang Otonomi Daerah, telah berpengaruh secara nyata terhadap sistem pemerintahan dan keuangan. Dari sentralisasi kepada desentralisasi. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999, dimana pemberian kewenangan otonomi daerah tersebut adalah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, termasuk dalam hal ini terutama adalah kewenangan dalam desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999.
Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengandung suatu implikasi bahwa transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menunjukkan jumlah yang semakin besar, sehingga kemampuan keuangan daerah meningkat disertai dengan peningkatan kewenangan dalam pengelolaannya.
Dampak dari kebijakan otonomi daerah telah menimbulkan peluang peningkatan kegiatan perekonomian daerah, terutama di daerah luar Jawa, yang selama ini mengalami ketinggalan dibanding Jakarta atau Jawa. Kegiatan bisnis daerah yang semakin berkembang tersebut pada gilirannya akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah, termasuk dalam hal ini adalah lembaga keuangan mikro dan perbankan. Kehadiran mereka diharapkan akan semakin meningkatkan bisnis daerah yang bersangkutan, melalui berbagai produk yang ditawarkannya.
Lembaga Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan Formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.
Di BRI sendiri, micro finance didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Terdapat masih banyak lagi definisi micro finance atau keuangan mikro tergantung dari sudut pembicaraan.
Bagaimanapun, target atau segmen micro finance senantiasa bersentuhan dengan masyarakat yang relatif miskin atau berpenghasilan rendah Program P4K yang ditangani di BRI mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka petani nelayan kecil (PNK) dan penduduk pedesaan lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan kriteria pendapatannya maksimum setara dengan 320 kg beras per kapita per tahun.
Menurut Marguiret Robinson (2000), pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk didalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu yang Ampuh dalam menangani kemiskinan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, ketika pinjaman diberikan kepada mereka yang sangat miskin, kemungkinan besar pinjaman tersebut tidak akan pernah kembali. Hal ini wajar saja, mengingat mereka (the extreme poor) tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Program pangan dan penciptaan lapangan kerja lebih cocok untuk masyarakat sangat miskin tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) atau masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income), mereka memiliki penghasilan, meskipun tidak banyak. Untuk itu diperlukan pendekatan, program subsidi atau jenis pinjaman mikro yang tepat untuk masing-masing kelompok masyarakat miskin tersebut.
Marguiret Robinson (2000) mengklasifikasikan pelayanan micro finance terhadap masyarakat miskin ke dalam tiga kategori.
Disamping BRI Unit, BRI juga bekerjasama dengan Pemerintah atau Instansi lain mengelola P4K dan BKD, tentu saja terdapat Lembaga Keuangan lain seperti BPR dan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang ikut terlibat dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan khususnya bank umum.
Pada lembaga keuangan mikro ini dapat menumbuhkan minat masyarakat di pedesaan untuk berusaha atau menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil di pedesaan, yang pada akhirnya dapat membantu program pemerintah untuk :
1.Meningkatkan Produktivitas usaha masyarakat kecil di pedesaan.
2. Meningkatkan pendapatan penduduk desa.
3. Menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan, sehingga dapat memperkecil keinginan masyarakat pedesaan melakukan urbanisasi.
4. Menunjang program pemerintah dalam mengupayakan pemerataan pendapatan penduduk desa dan upaya pengentasan kemiskinan.
II. Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah (OTODA)
Kebijakan Pemerintah Indonesia dibidang Otonomi Daerah, telah berpengaruh secara nyata terhadap sistem pemerintahan dan keuangan. Dari sentralisasi kepada desentralisasi. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999, dimana pemberian kewenangan otonomi daerah tersebut adalah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, termasuk dalam hal ini terutama adalah kewenangan dalam desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999.
Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengandung suatu implikasi bahwa transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menunjukkan jumlah yang semakin besar, sehingga kemampuan keuangan daerah meningkat disertai dengan peningkatan kewenangan dalam pengelolaannya.
Dampak dari kebijakan otonomi daerah telah menimbulkan peluang peningkatan kegiatan perekonomian daerah, terutama di daerah luar Jawa, yang selama ini mengalami ketinggalan dibanding Jakarta atau Jawa. Kegiatan bisnis daerah yang semakin berkembang tersebut pada gilirannya akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah, termasuk dalam hal ini adalah lembaga keuangan mikro dan perbankan. Kehadiran mereka diharapkan akan semakin meningkatkan bisnis daerah yang bersangkutan, melalui berbagai produk yang ditawarkannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari materi yang bejudul Peranan Otonomi Daerah Terhadap Peluang & Tantangan Bisnis di Indonesia, maka kesimpulanya bahwa otonomi daerah menjadi keluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah. Disamping peluang-peluang yang muncul dan pelaksanaan otonomi daerah, terdapat sejumlah tuntutan dan tantangan yang harus diantisipasi agar tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai dengan baik. Diantara tantangan yang dihadapi oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau seluruh kelompok masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri.
Dalam implementasinya, penetapan dan pelaksanaan peraturan dan instrumen baru yang dibuat oleh pemerintah daerah dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung, pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap adanya perubahan kebijakan, yaitu masyarakat miskin dan kelompok usaha kecil. Kemungkinan munculnya dampak negatif perlu mendapat perhatian lebih besar, karena hal tersebut dapat menghambat tercapainya tujuan penerapan otonomi daerah itu sendiri.
Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. Jakarta: Erlangga.
Kian Gie, Kwik. Analisis Ekonomi Politik Indonsia. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar